Gunung Anak Krakatau Meletus, Akhir Desember 2018, bencana yang tak mampu diprediksi terjadi di Selat Sunda. Letusan Gunung Anak Krakatau sebabkan bagian bawah gunung itu longsor dan berdampak perihal tsunami yang menimpa pesisir Banten dan Lampung pada malam hari, 22 Desember 2018.
Bencana itu datang tanpa ada peringatan. BMKG pun kebingungan sebab tsunami itu bukan terjadi sebab gempa, tetapi sebab longsoran badan gunung.
Ketika bencana terjadi, saya sedang menikmati akhir pekan di Jakarta data china. Maklum sedang waktunya libur dua hari. Namun, Ahad pagi, Newsroom –kompartemen yang sesuaikan penugasan liputan di Republika waktu itu– menugaskan saya ke Banten. Tugasnya, meliput situasi pascabencana.
“Bay, jalur ke Anyer ya liputan bencana tsunami,” lebih kurang seperti itu mengisi pesannya. Singkat, padat, tak menyisakan area untuk ditolak.
Sebagai wartawan yang belum genap satu th. berhimpun di Republika, saya tentu tak miliki tekad untuk menolaknya. Apalagi itu kesempatan langka, meliput segera di lokasi bencana, yang selama ini saya hanya sebabkan beritanya berasal dari wawancara Kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho (almarhum). Pengalaman itu dapat terlampau berharga, pikir saya.
Namun, saya bingung pagi itu. Bagaimana langkah saya mampu hingga ke Banten? Newsroom hanya memerintahkan ke Banten, tak memberi rincian wajib seperti apa untuk hingga di sana. Kendaraan untuk di lokasi bencana disuruh cari motor sewaan saja.
Saya berkoordinasi bersama kawan sesama reporter Republika yang waktu itu ditugaskan ke Banten, Afrizal. Afrizal bilang dapat ke sana manfaatkan angkutan umum. Saya pun mengikutinya. Menggunakan angkutan umum berasal dari Kampung Rambutan ke Serang.
Sialnya, di sedang perjalanan, Afrizal mengabari dia membawa sepeda motor berasal dari tempat tinggal saudaranya data bullseye. Kenapa gak bilang berasal dari awal, Jal?
Mengumpat tak ada gunanya. Perjalanan wajib terus lanjut.
Gunung Anak Krakatau Meletus
Sampai di Terminal Serang situasi hujan deras. Setelah tanya-tanya, saya melanjutkan perjalanan bersama manfaatkan angkutan kota (angkot). Dua kali, hingga pada akhirnya hingga Puskesmas Anyar, pemberhentian terakhir yang berani dilewati angkot dan kendaraan umum lainnya.
Sopirnya tak berani lebih jauh, was-was kalau-kalau ada bencana susulan. Maklum saja, Anak Krakatau masih bergemuruh waktu itu. Sementara jalur menuju lokasi terdampak tsunami terparah konsisten berada di pinggir pantai. Letusan mampu terjadi kapan pun, lagi sebabkan longsoran, dan berdampak pada tsunami susulan.
Ketika itu, hari sudah sore. Hujan deras berasal dari terminal hanya tersisa rintik-rintik. Sembari mengayalkan langkah melanjutkan perjalanan, saya berteduh sejenak di Puskesmas Anyar. Kebetulan, ketika itu terkandung sejumlah korban selamat yang baru dievakuasi berasal dari Pulau Sangiang. Mereka sedang berlibur di pulau yang terletak di antara Jawa dan Sumatra itu ketika perihal bencana. Kesaksian para korban selamat itu saya tuliskan jadi berita.
Waktu terus berjalan. Hari tambah menuju gelap. Permasalahan untuk melanjutkan perjalanan belum mampu disimpulkan. Tak ada kendaraaan yang berani lebih jauh melintas ke lokasi terdampak bencana tsunami.
Tak lama berselang, datang rombongan truk TNI berasal dari Jakarta data hongkong. Rombongan truk itu berhenti di dekat puskesmas. Untuk beristirahat sepertinya.
Saya mencoba sok akrab bersama para prajurit yang sedang beristirahat itu. Mereka hendak ke lokasi terdampak bencana, menolong para pengungsi dan mencari korban yang masih belum ditemukan. Saya pada akhirnya memberanikan diri untuk menumpang truk mereka ke lokasi pengungsian.
Para prajurit itu tak mampu menentukan. Saya diminta izin segera ke komandan mereka. Tak lama, bersua bersama komandan. Untuk memperlihatkan saya terlampau wartawan, sang komandan berharap kartu pers. Sebagai calon reporter, saya belum dibekali kartu pers oleh kantor. Hanya selembar surat tugas dalam amplop berlogo Republika. Surat itu senantiasa saya bawa ke manapun liputan.
Setelah menunjukan surat itu, saya diperbolehkan turut rombongan mereka. Tapi sang komandan menyuruh mahfum, truk sempit dan jangan harap mampu daerah lega sebab banyak barang bawaan dan prajurit yang turut serta. Tak apa, pikir saya, yang perlu hingga tujuan.
Sebelum Magrib, truk pada akhirnya melanjutkan perjalanan berasal dari istirahat mereka. Jalan gelap dilewati rombongan truk itu. Hanya lampu kendaraan yang menyinari jalan, sebab listrik padam.
Beberapa pohon tumbang menghadang perjalanan dan truk terpaksa wajib berhenti. Salah seorang prajurit berkelakar, “Ini tumbang atau penghadangan?” Yang lain tertawa, kemudian turun membereskan batang pohon tumbang yang menghambat jalan. Truk lagi jalan.
Dalam truk itu, para prajurit bercerita satu serupa lain. Saya hanya mendengarkan dan sesekali tertawa mendengar lelucon mereka. Lelucon para prajurit yang tak jadi menikmati akhir pekan bersama keluarga mereka lantaran wajib ke lokasi bencana. Sama seperti saya.
Malam harinya, saya hingga di lokasi pengungsian. Terdapat ratusan warga yang mengungsi, tidur di tenda dan pelataran pertokoan, hanya bersama kardus dan selimut seadanya. Akhir pekan menjelang akhir th. itu terlampau istimewa. Pengalaman pertama saya meliput segera di lokasi bencana.